Siapa saja investor saham Indonesia yang Anda tahu? Apakah itu termasuk Lo Kheng Hong, salah satu value investor terbaik saat ini? Atau beberapa finance influencer yang juga sering membahas saham lainnya? Kali ini penulis akan membahas mengenai Haiyanto, salah satu investor “misterius” yang sering disinggung jika membahas topik value investor Indonesia. Bagaimana daftar saham Haiyanto dan kondisinya saat ini? Yuk kita bahas!
Siapa itu Haiyanto?
Haiyanto merupakan salah satu dari sekian banyak value investor di Indonesia. Namanya sering disejajarkan dengan beberapa investor individu sukses di Indonesia seperti Lo Kheng Hong. Hal ini bukannya tanpa alasan, karena nama Haiyanto juga tercatat pada beberapa perusahaan dengan kepemilikan saham lebih dari 5%. Berbeda dari Lo Kheng Hong yang cerita suksesnya sudah tersebar luas, Haiyanto terkesan tertimbun dari spotlight media, bahkan di internet sekalipun. Bahkan hingga saat ini Anda tidak bisa mendapatkan foto wajah beliau di internet.
Setelah menelisik pergerakan portofolionya dalam beberapa tahun terakhir, penulis melihat bahwa portofolio saham Haiyanto sangat menarik untuk dicermati. Beberapa koleksi saham yang dimilikinya saat ini memiliki beberapa karakteristik yang mirip. Seperti halnya Lo Kheng Hong, Haiyanto juga dikenal sebagai value investor yang memang lebih menyukai saham-saham undervalue.
Kepemilikan saham Haiyanto
Cukup sulit untuk melacak kepemilikan saham setiap individu karena belum tentu tercatat dalam laporan keuangan. Namun kepemilikan saham pribadi sebesar lebih dari 5% umumnya akan dicantumkan pada laporan keuangan dan laporan tahunan perusahaan. Maka dari itu, penulis akan membahas beberapa koleksi saham Haiyanto dengan porsi kepemilikan lebih dari 5% hingga saat ini.
1. TELE (PT. Tiphone Mobile Indonesia, Tbk.)
Tiphone Mobile Indonesia merupakan Perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan jasa telekomunikasi. Outlet milik TELE lebih dikenal dengan nama Telesindo Shop dan tersebar di seluruh Indonesia. Perseroan juga sempat mengeluarkan ponsel dengan merk Tiphone. Perusahaan ini didirikan oleh Hengky Setiawan pada tahun 2008. Hengky Setiawan dikenal sebagai Raja Voucher karena sudah mengantongi keuntungan puluhan juta per bulan Ketika di tahun 1990an dan tahun 2000an awal voucher pulsa mulai marak dan pembelian handphone menggunakan sistem PO.
Berdasarkan info Insider Stockbit, Haiyanto mengantongi saham TELE pada 2 Maret 2020. Pada saat itu saham TELE berada pada harga 115 Rupiah per lembar sahamnya. Pembelian oleh Haiyanto dilakukan selama 3 bulan hingga 11 Juni 2020 dengan 580,5 juta lembar saham yang dimilikinya (7,94%). Kepemilikan saham Haiyanto belum berubah hingga saat ini.
Jika ditelisik kembali, pembelian Haiyanto atas saham TELE dilakukan ketika Perusahaan berada pada masa terbawahnya. Bagaimana tidak, banyak kreditur TELE menggugat PKPU dan secara resmi sudah masuk kondisi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) per Juli 2020. Ini dikarenakan perusahaan gagal membayar kewajiban obligasinya ke para kreditur. Meskipun status PKPU sudah dicabut per Januari 2021, perusahaan sudah terlanjur mencatatkan hutang yang besar dan ekuitas negatif. Bahkan per tahun 2020 saja liabilitas perusahaan tercatat sebesar 4,4 triliun Rupiah dan ekuitas minus 4,25 triliun Rupiah.
Hingga saat ini saham TELE menjadi komplotan saham gocap bersama saham gocap lainnya. Di bulan Juli lalu saham TELE disuspensi karena perusahaan tidak dapat membayar obligasi jatuh temponya. Kondisi ini tentu tidak dapat terelakkan karena per akhir 2022 perusahaan mencatatkan ekuitas negatif 4,6 triliun Rupiah. Jika dihitung sejak harga saham TELE pada Maret 2020 (115 Rupiah per lembar saham), maka saat ini Haiyanto menderita floating loss sebesar 56,25%.
2. MDLN (PT. Modernland Realty, Tbk.)
Bagi yang sering memantau saham-saham konstruksi dan properti pasti sudah tidak asing dengan saham MDLN. Modernland memang sudah aktif menjadi pengembang properti sejak 1983 dan menjadi salah satu yang berkembang di Indonesia. Portfolio Perusahaan cukup beragam mulai dari township development (Vasaka City, Jakarta Garden City), industrial estate, residensial, dan beberapa hotel (Novotel Jakarta, Swiss-Bell Inn Cikande).
Nama Haiyanto baru tercatat sebagai pemegang saham MDLN pada laporan tahunan MDLN tahun 2021. Berdasarkan info dari Insider Stockbit, Haiyanto sudah memegang saham MDLN sejak 3 Agustus 2020 dengan porsi kepemilikan 8,80% dari total saham beredar (harga saham MDLN saat itu 51 Rupiah per lembar saham). Pembelian ini dilakukan setelah pembukaan suspensi dari Bursa Efek Indonesia pada 21 Juli 2020 setelah pengajuan restrukturisasi obligasi yang disetujui. Haiyanto juga bisa dibilang cukup aktif melakukan trading saham MDLN walaupun dalam porsi kepemilikan yang kecil hingga tahun ini.
Kabar baiknya, MDLN sudah mulai membukukan laba bersih di akhir 2022 dan masih berlanjut untuk di pertengahan tahun 2023 ini. Jika ditarik hingga saat artikel ini ditulis, saham MDLN sudah berada pada harga 82 Rupiah per lembar saham, dan Haiyanto sudah mengantongi floating profit sebesar 60,78%.
3. KDSI (PT. Kedawung Setia Industrial, Tbk.)
Kedawung Setia Industrial merupakan pemain senior industri peralatan rumah tangga dengan bahan enamel di Indonesia sejak 1973. Langkah perusahaan untuk mengembangkan produksi kertas kardus berkelombang semakin menyokong eksistensinya di Indonesia. Jangkauan produk ekspor KDSI juga sudah mencapai seluruh belahan benua di dunia.
Ketika penulis melakukan riset lebih dalam, penulis perlu meralat tulisan penulis terkait saham KDSI di tahun 2020 lalu. Saat itu penulis mencantumkan pernyataan sebagai berikut.
Perlu dicatat bahwa Haiyanto sudah memegang saham KDSI sejak 2011.
Tulisan ini penulis koreksi per hari ini, karena Haiyanto baru memegang saham KDSI dengan porsi kepemilikan lebih dari 5% di tahun 2011 (tepatnya 6,9%).
Baca juga: Mutiara dalam Kardus: Kedawung Setia Industrial (KDSI)
Di tahun 2010 Haiyanto sudah memiliki 4,9% dari total saham KDSI yang beredar. Ini berarti bahwa sebelum tahun 2010 Haiyanto kemungkinan sudah memiliki saham KDSI walaupun kepemilikannya masih di bawah 5%. Jika kita berasumsi bahwa Haiyanto baru membeli saham KDSI di tahun 2010, maka Haiyanto sudah memegang saham KDSI selama 13 tahun!
Mari kita hitung keuntungan yang didapat dengan menahan sahamnya selama 13 tahun (dengan asumsi tidak ada transaksi jual beli setelah pembelian pertama). Pada 30 Desember 2010 harga saham KDSI ditutup pada 225 Rupiah per lembar sahamnya. Jika ditarik hingga saat artikel ditulis (harga saham KDSI 1505 Rupiah per lembar saham), maka setidaknya Haiyanto sudah mengantongi floating profit 6,6 kali lipat dari modal awal pembelian sahamnya di 2010. Keuntungan ini belum termasuk keuntungan dari dividen yang baru dilakukan perusahaan dalam 3 tahun terakhir.
4. INAI (PT. Indal Aluminium Industry Tbk.)
Jika grup Maspion terkenal karena barang-barang elektroniknya, maka INAI merupakan salah satu jantungnya. Bagaimana tidak, salah satu Perusahaan grup Maspion ini sudah menjadi tombak industri aluminium di Indonesia sejak 1971. Hasil produksi INAI justru lebih banyak dipasarkan ke luar negeri.
Eksistensinya selama lebih dari setengah abad ini tentu menjadikan INAI menjadi nilai tambah bagi investor untuk berinvestasi di sini, tidak terkecuali Haiyanto. Kepemilikan saham INAI oleh Haiyanto baru terlacak oleh penulis di akhir 2013, ketika di Laporan Tahunan INAI Tahun 2014 Haiyanto sudah mengoleksi 10,72% dari total saham INAI yang beredar.
Sayangnya penulis tidak bisa menemukan Laporan Tahunan INAI tahun 2013, namun nama Haiyanto tidak tercantum di Laporan Keuangan INAI di tahun 2012. Kemungkinan besar Haiyanto sudah mengumpulkan saham INAI pada tahun tersebut atau sebelumnya, hanya dengan kepemilikan saham kurang dari 5%.
Namun mari kita asumsikan bahwa Haiyanto baru membeli saham INAI pada 30 Desember 2013 di harga 600 Rupiah per lembar sahamnya. Oleh karena stocksplit yang diadakan 2 kali oleh INAI di tahun 2014 (1:2) dan 2017 (1:2), maka harga pembelian saham INAI oleh Haiyanto menjadi 150 Rupiah per lembar sahamnya. Jika kita tarik ke masa ketika artikel ini ditulis, yang mana harga sahamnya sudah menyentuh 196 Rupiah per lembar saham, maka Haiyanto saat ini mengantongi floating profit sebesar 30,67%.
Apakah ini return yang besar untuk lebih dari 10 tahun kepemilikan sahamnya? Tentunya kurang memuaskan, apalagi kinerja INAI yang merosot dan malah membukukan kerugian bersih di akhir 2022. Namun dividen yield INAI yang cukup besar sebelum pandemi COVID-19 (minimum 8%) bisa jadi menjustifikasi keuntungan potensial yang diproyeksikan oleh Haiyanto untuk saham INAI.
5. RUIS (PT. Radiant Utama Interinsco, Tbk.)
Saham RUIS baru baru ini hangat diperbincangkan karena kepemilikan sahamnya pada PT. Sorik Marapi Geothermal Power yang isunya ingin diakuisisi oleh Pertamina Geothermal Energy (PGEO). Sebagai perusahaan yang menyiapkan manpower dan jasa jasa testing dan inspeksi material industry oil and gas di Indonesia, sebenarnya RUIS pun tidak asing dengan perkembangan energi geothermal di Indonesia.
Isu ini mengangkat harga saham RUIS ke level 400 Rupiah per lembar saham sebelum turun lagi ke 300 Rupiah per lembar saham. Hal ini cukup mengejutkan penulis karena penulis membahas dan menganalisis saham RUIS sebulan lalu.
Baca juga: Analisis Saham RUIS: Perusahaan Energi Yang Layak Dikoleksi?
Kepemilikan saham Haiyanto baru terlacak pada Laporan Tahunan RUIS tahun 2013 dengan kepemilikan 25,11% dari total saham RUIS. Porsi kepemilikan ini paling tinggi dibandingkan empat saham lain yang penulis bahas sebelumnya. Adapun dalam laporan tahunan 2012, 2011, dan 2010, Haiyanto tidak terlihat sebagai pemilik saham RUIS dengan kepemilikan diatas 5%.
Namun mari kita asumsikan bahwa Haiyanto memborong saham RUIS di akhir tahun 2013 dengan harga 200 Rupiah per lembar saham. Jika ditarik hingga saat ini, maka saat ini Haiyanto sudah mengantongi floating profit sebesar 50%. Profit ini belum termasuk dividen yang diterima setiap tahunnya.
Apakah Haiyanto Seorang Value Investor?
Jika melihat kembali pada saham piilihan Haiyanto ini, ada beberapa poin yang bisa penulis ambil. Poin-poin ini sejatinya juga diterapkan oleh berbagai value investor di seluruh dunia.
- Saham-saham ini memiliki kapitalisasi pasar yang rendah. Contoh saja RUIS yang memiliki kapitalisasi pasar saat ini 257 miliar Rupiah (bandingkan dengan pendapatannya yang mencapai 1,7 triliun Rupiah). Atau KDSI yang saat ini memiliki kapitalisasi pasar 583 miliar Rupiah (bandingkan dengan aset lancarnya sebesar 760 miliar Rupiah).
- Haiyanto membeli saham-saham incarannya pada valuasi yang relatif rendah. Bahkan saham MDLN dibeli ketika harganya 51 Rupiah per lembar saham. Adapun saham RUIS, KDSI, dan INAI juga dibeli pada kondisi yang undervalue.
- Beberapa saham pilihan Haiyanto cukup sering membagikan dividen. Bahkan KDSI yang sebelum pandemi COVID-19 jarang membagikan dividen akhirnya membagikan dividennya dalam 3 tahun terakhir.
- Haiyanto menyimpan sahamnya dengan jangka waktu yang cukup lama. Kecuali TELE dan MDLN, saham-sahamnya sudah dikoleksi dalam kurun waktu 10 tahun, bahkan lebih.
Kesimpulan
Haiyanto merupakan salah satu investor saham senior di Indonesia yang kurang terdengar di media namun tetap menarik. Mirip seperti Lo Kheng Hong, Haiyanto menjalankan kaidah value investing pada portfolio sahamnya. Haiyanto suka mencari saham-saham undervalue, sering membagikan dividen, dan akan dikoleksi oleh beliau dalam jangka waktu yang cukup lama. Beberapa saham koleksinya sudah melejit 2 hingga 5 kali lipat dalam 10 tahun terakhir, beberapa diantaranya sudah menghasilkan akumulasi dividen yang cukup besar.
Meski demikian, investor besar sekaliber Haiyanto pun pernah melakukan kesalahan (masih ingat saham TELE yang masuk Lembah gocap dan terkena suspensi?) dan itu wajar. Ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita untuk terus berlatih dan selalu belajar mematangkan analisis sebelum mengambil keputusan untuk membeli saham idaman.
NB: Kepemilikan saham dibawah 5% pada umumnya dibuat menjadi satu di bagian kepemilikan masyarakat. Oleh karenanya, sangat sulit untuk melacak kepemilikan saham seseorang yang masih dibawah 5%, termasuk investor besar sekelas Lo Kheng Hong dan Haiyanto. Namun beberapa saham sempat dimiliki oleh Haiyanto dengan kepemilikan kurang dari 5%, seperti NISP, PTBA, dan CFIN.
Referensi: